Kisah Prajurit

MAJALAH PALAGAN : Kisah Prajurit
PRAKA Mar. PUJI UTOMO
Sosok yang layak kita soroti dedikasinya kali ini, tak lain adalah Praka Marinir Puji Utomo. Prajurit yang turut berjuang membela kedaulatan NKRI ini, harus merelakan kenyataan mengalami cacat di kedua kakinya. Jika dirunut ke belakang dari perjalanan hidup dia, menjadi tentara merupakan impiannya sejak kecil. Begitu kuatnya citra sosok prajurit dalam dirinya, sehingga sejak menamatkan pendidikan SMA-nya, dengan tekad bulat dia langsung mendaftarkan diri menjadi tentara. Dengan posisinya sebagai Praka Marinir, ia mengaku merasa bangga sebagai prajurit. Pemuda tegap yang menggemari sepak bola ini, lahir di
Purwokerto, Jawa Tengah 1 Maret 1974. Ayah seorang putra yang kini berumur 2 tahun ini, sehari-harinya bertugas sebagai anggota Kompi E Yonif 3 Mar/Surabaya dan mendapat tanggung jawab sebagai pe-nembak RPG. Pilihannya sejak awal memang mantap, yakni menjadi prajurit Marinir. Dia tidak mengira, saat men-jalankan tugas di propinsi NAD tepatnya di Desa Teuping Gajah, Kecamatan Pasihe Raja, Aceh Selatan, musibah datang menimpa dirinya. Kedua kakinya mengalami cacat akibat ditembak oleh pihak pemberontak GAM.

Musibah Saat Bertugas
Praka (Mar) Puji Utomo menceritakan kembali urutan kejadian yang menimpa dirinya. "Saat itu, usai sholat subuh saya beserta 3 rekan dari Korps Marinir dan 10 orang anggota dari kesatuan Korps Brimob, berangkat menuju daerah Ujung Batu, karena menurut informasi masyarakat dan intelijen di daerah itu akan dilakukan penanaman ganja dan merupakan basis kekuatan para pemberontak GAM," kata Praka (Mar) Puji Utomo mengawali ceritanya.
Mereka sama-sama berjalan menuju ketinggian bukit serta menyusuri hutan, lanjut Praka Puji. Di dalam perjalanannya tersebut, ia menemukan sebuah gua yang tidak ada penghuninya. Namun terdapat tanda-tanda bekas makanan dan alat-alat yang digunakan untuk memasak. Karena perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan, sementara hari men-jelang sore, akhirnya
tim keseluruhan memutuskan untuk bermalam hingga kira-kira jam 3 pagi.
"Keesokan harinya, tim melanjutkan perjalanan kembali dan akhirnya menemukan sebidang ladang osong yang tampak baru saja digarap, Menurut saya lahan itu akan dipersiapkan untuk penanaman ganja," terbukti dengan ditemukannya tanaman ganja yang masih kecil di sebuah rumah kosong yang disinyalir menjadi salah satu tempat persembunyian anggota GAM. Setelah tim dapat menguasai lokasi tersebut, Praka (Mar) Puji Utomo bersama timnya beranjak turun dari bukit. Dia berada pada posisi belakang dengan membawa senjata SS1. Pada saat turun dari wilayah per-bukitan, semua anggota merasa lelah, persediaan air minum mereka juga telah habis. Untuk itu, mereka memutuskan untuk mencari air dan memasaknya. Dalam keadaan istirahat banyak anggota tim yang memanfaatkannya dengan duduk-duduk santai sambil menghisap rokok.
"Namun hati saya saat itu sudah enggak enak. Makanya saya tetap waspada sambil berdiri menghadap ke arah belakang selama kurang lebih 10 menit.
Ternyata benar, waktu itulah, saya melihat dua orang pemberontak GAM yang akan menyerang saya. Dengan kondisi yang mendadak, akhirnya saya sempat menembakkan senjata SS1-nya ke arah pemberontak GAM dalam jarak kontak tembak sekitar 10 meter," paparnya. Kedua anggota pemberontak GAM tersebut tewas, namun malang tak dapat dihindari, salah seorang anggota GAM sebelum tewas, sempat menem-bakkan senjatanya ke arah kaki kiri dan kanan dari Praka (Mar) Puji Utomo.
"Saya masih ingat betul kejadian tersebut terjadi pada tanggal 18 Juni 2003 pukul 10.00," katanya. Sesaat setelah kejadian, Praka (Mar) Puji Utomo langsung dievakuasi oleh rekan-rekannya dengan menggunakan tandu yang terbuat dari baju loreng yang telah disobek-sobek. Waktu itu luka tembak yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah diikat dengan slayer,
sambil berjalan menuruni bukit selama dua jam menyebabkan dia hampir kehabisan darah. "Setelah itu saya mendapatkan perawatan di RS. Tapak Tuan Aceh Selatan, kemudian dievakuasi kembali ke RS. Putri Hijau Medan selama dua hari. Akhirnya pada tanggal 20 Juni ia dipindahkan ke RSGS Jakarta."paparnya.
Praka (Mar) Puji Utomo sebenarnya telah cukup berpengalaman bertugas di daerah konflik. Dia pernah bertugas di Timor-Timur, hingga usainya jajak pen-dapat. Usai dari penugasan di Timor-Timur ia menikah. Tak lama kemudian ia kembali mendapatkan perintah untuk bertugas ke daerah Poso.
Sebagai prajurit yang loyal serta berdedikasi tinggi, sepulang dari Poso oleh pimpinannya ia dipercayai lagi untuk bertugas dalam rangka pengamanan
kunjungan Presiden RI di Tim-Tim. Praka (Mar) Puji Utomo tidak pernah menyesali apa yang menimpa dirinya. Cacat yang kini dialami pada kedua kakinya, dia sadari sebagai resiko tentara dalam melaksanakan tugas.
"Kenapa harus larut dalam kesedihan, toh yang mengalami musibah seperti ini bukan hanya saya sendiri," ujarnya dengan tegas.
Sikap ikhlas dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan dan kerelaan berkorban demi bangsa dan
negara yang ditunjukkan oleh Praka (Mar) Puji Utomo memperlihatkan sikap dedikasi yang tinggi dari seorang prajurit TNI. Harapan Praka (Mar) Puji Utomo tidaklah muluk-muluk. Dia hanya me-minta perhatian, khususnya dari
pim-pinan TNI.
"Menurut saya, seyogyanya prajurit-prajurit yang cacat itu mendapat perhatian dalam segala hal," tegasnya. Sebuah harapan yang tentu
saja sudah semestinya mereka dapatkan.

MAJALAH PALAGAN : Kisah Prajurit Bag.2
SERKA ERON RONIKO RORMATI

Hampir semua cerita dari wilayah konflik, selalu menorehkan
keharuan yang dirasakan para korban. Hingga kini, tak sedikit prajurit TNI yang mengalami musibah cacat fisik saat bertugas di medan operasi. Salah satunya, tercatat Serka Eron Roniko Rormati yang saat ini terbaring di RSGS Jakarta. Dia adalah prajurit kelahiran Sangihe Talaud, 33 tahun lalu.
Prajurit yang menikahi Siti Rohani, gadis asal Gombong, Jawa Tengah ini, berasal dari kesatuan Yon Zipur 3/Dam III/Slw Bandung. Jabatan sehari-harinya, Basi Ops (Bintara Seksi Operasi) dan bertugas di Kodim 0102 Pidie, Kotis Yon Zipur 3. Dia kini telah dikaruniai dua orang putra. Anak pertamanya, berusia 3,5 tahun, sedangkan yang kedua kini berusia 20 bulan. Dia harus merelakan kaki sebelah kanannya cedera akibat kecelakaan di
daerah
Muara Tiga, Pidie Aceh. Saat itu, Serka Eron mendapat perintah tugas untuk melaksanakan patroli pengamanan serta pengecekan jembatan di daerah Muara Tiga, Pidie. Sebelum melaksanakan tugas tersebut, Serka Eron yang saat itu bertugas sebagai Basi Ops mendapatkan bantuan kekuatan pasukan
sebanyak 4 orang.
"Setelah saya mendapat penambahan pasukan tersebut, saya berangkat menuju daerah Muara Tiga dengan jarak kurang lebih 7 km, saat itu terjadilah musibah kecelakaan," paparnya. Menurutnya, di daerah tersebut sering terjadi penghadangan oleh pemberontak GAM. Untuk menghindari penghadangan
rombongan berusaha dengan cara lain, meskipun melalui jalan yang kondisinya banyak rintangan. Belum lagi faktor cuaca yang seringkali berkabut menyebabkan daya pandang yang terbatas. Serka Eron dan tim memang sudah berusaha maksimal mengendalikan lajunya kendaraan. Namun, nasib kurang menguntungkan harus diterimanya. Mobil yang dia tumpangi masuk jurang. Malang tak dapat ditolak, meskipun sudah sangat berhati-hati, korbanpun akhirnya jatuh jua.
Prajurit yang tewas di tempat kejadian antara lain, Letnan Satu Inf. Imam, Letnan Dua Kes.Sugeng yang berada dalam mobil. Sementara para prajurit lainnya sempat melompat keluar. "Saya melompat keluar menuju arah kanan mobil, sehingga saya terpental sampai jarak 30 m dari arah mobil," kenangnya. Setelah kejadian tersebut, dia langsung dievakuasi ke RS. Sigli. Sebagai akibat luka yang serius, ia selanjutnya dikirim untuk mendapatkan perawatan yang intensif di RSGS Jakarta. Kecelakaan tersebut baginya merupakan bagian dari konsekuensi tugas di daerah operasi. Dan ia sadar bahwa kecelakaan tidak selamanya akibat kontak senjata dengan pihak musuh.
Saat ini, Serka Eron yang setiap hari didampingi oleh anak dan istrinya nampak tegar menjalani perawatan. Meskipun kondisi kedua lutut kakinya yang cacat parah. "Saya masih bersyukur atas apa yang menimpa pada saya. Karena waktu itu saya masih diberi keselamatan sehingga bisa kembali berkumpul dengan keluarga" katanya menutup wawancara.

MAJALAH PALAGAN : Kisah Prajurit Bag.3
SERDA SUPRIADI

Salah seorang prajurit TNI yang ditimpa musibah saat bertugas di Aceh yakni Serda Supriadi. Dia kini masih tergolek dalam perawatan medis di RSGS Jakarta. Sekelumit riwayat hidupnya dia ceritakan kepada Reporter Patriot. Serda Supriadi menjadi anggota TNI sejak tahun 1993 dan sudah 10 tahun ini bertugas di propinsi NAD. Dia merintis karirnya dari bawah, mulai Tamtama hingga Bintara dan sudah bertugas di beberapa daerah.
Provinsi NAD di antaranya Aceh Timur, Aceh Tengah, Pidie, Aceh Utara. Prajurit berambut ikal yang lahir di Medan 11 Desember 1971 ini, memulai karirnya pada Kesatuan Yonif 113/Jaya Sakti. Selama bertugas, ia menuturkan bahwa pengalaman paling mengesankan adalah saat berhasil mendapatkan banyak senjata milik GAM. "Kesatuan saya sempat mendapatkan 37 pucuk senjata yang ditanam oleh pemberontak GAM,", jelasnya dengan bangga.
Pada waktu itu, Serda Supriadi bertugas di BKO Intel Kodim Aceh Timur dan berhasil menangkap salah seorang pemberontak GAM yang pernah berlatih di Libya bernama Abdul Ma'ruf. Kemudian setelah diadakan pemeriksaan secara teliti maka terungkaplah tempat penyimpanan senjata tersebut. Atas prestasinya mendapatkan 37 pucuk senjata, ia mendapatkan penghargaan dari pimpinannya sehingga mendapat kesempatan untuk mengikuti Secaba tanpa melalui test.
Kini ayah seorang putra berusia 1 tahun ini, harus merelakan anggota tubuhnya pada bagian paha kanan dan tangannya untuk dirawat intensif di RSGS Jakarta.
Tak terasa, Serda Supriadi kini sudah menjalani perawatan kurang lebih 2,5 tahun, sejak ia mendapatkan musibah pada 3 November 2000. Musibah itu terjadi akibat tembakan oleh pemberontak GAM sehingga melukai paha dan tangannya yang cukup parah. Prajurit yang pernah mengikuti anggota Ton Tangkas tingkat Kodam dan pernah meraih juara umum ini terlihat tegar dalam menghadapi kehidupan. "Saya ikhlas menerima musibah ini, karena ini merupakan resiko sebagai prajurit di medan operasi," ungkapnya.

Dihadang GAM
Kronologi musibah yang terjadi pada Supriadi, bermula saat dia bersama rekan-rekannya yang terdiri atas 3 kelompok, mendapat perintah dari pimpinannya untuk mengambil logistik dan uang lauk pauk (ULP) dari Korem.
Setiap kelompok, jumlahnya 8 orang personel dengan masing-masing kelompok dilengkapi mobil Kijang. "Ketika pulang, setelah kami mengambil ULP, tiba-tiba di tempat pada posisi ketinggian tepatnya di Desa Pulau Rungkum, Lhok Seumawe, Aceh Utara, dihadang oleh kurang lebih 50 orang
pemberontak GAM," tuturnya. Ia menambahkan, akibat hadangan tersebut membuat rombongan terdesak, sehingga tidak bisa melakukan tembakan balasan secara maksimal.
Setelah bertahan beberapa saat, akhirnya kelompok pemberontak GAM melarikan diri. "Saat itu timbul korban yang gugur yaitu Kopral Muzakudin dan Prada Hendrik, sedangkan saya terkena tembakan sehingga melukai paha kanan dan tangan saya," kisahnya dengan bersemangat. Karena lukanya cukup parah saat itu juga, dia dievakuasi ke RS Putri Hijau, Medan dan sempat dirawat selama 7 bulan. Berhubung lukanya tak kunjung sembuh dan kesehatannya terus menurun, maka akhirnya ia dibawa ke RSGS Jakarta untuk perawatan yang lebih intensif lagi. Saat ini kondisinya memang masih memprihatinkan, karena luka tembak yang mengakibatkan kakinya semakin mengecil dan membusuk, bahkan jari-jari kaki kanannya putus serta syarafnya tak lagi berfungsi.
"Bagi saya ini adalah sudah suratan dan sebagai resiko tugas seorang prajurit. Tapi saya tetap bangga, karena tugas untuk Nusa dan Bangsa". tegasnya......(*)