Mohammad Amir (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 27 Januari 1900 - meninggal di Amsterdam, Belanda, 1949) merupakan politikus dan menjabat sebagai menteri di Indonesia. Dia menjabat sebagi menteri negara pada Kabinet Presidensial pada tahun 1945.
Asal usul
ada Amir lahir dari pasangan M. Joenoes Soetan Malako dan Siti Alamah. Dalam adat Minangkabau yang matrilineal, Amir mengikuti suku ibu yakni suku Mandaliko. Keluarganya merupakan kaum yang terpelajar. Selain Amir, kedua sepupunya yakni Mohammad Yamin dan Djamaludin Adinegoro juga merupakan tokoh pergerakan Indonesia.
Pendidikan
Pada waktu belia, Amir dibawa kakak ibunya Mohammad Jaman gelar Radjo Endah ke Palembang. Di kota ini Amir belajar di HIS, sekolah dasar untuk anak-anak pribumi. Sebelum tamat HIS, Amir pindah ke Batavia dan melanjutkan pendidikan dasarnya di ELS. Amir meneruskan studinya ke jenjang pendidikan menengah di MULO. Disana ia tamat belajar pada tahun 1918 untuk kemudian melanjutkan ke STOVIA. Setelah tamat STOVIA, antara tahun 1924-1928, Amir mendapat kesempatan untuk meneruskan belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Utrecht, Belanda dengan beasiswa dari perkumpulan Teosofi.
Aktivis
Tanggal 8 Desember 1917, Amir bersama Tengku Mansur dan sejumlah siswa Sumatra lainnya mendirikan Jong Sumatranen Bond (JSB), mengikuti jejak pemuda-pemuda Jawa yang mendirikan Jong Java dua tahun sebelumnya. Para pemuda inipun bergabung untuk mempersiapkan diri sebagai penggerak dalam upaya memperbaiki taraf kehidupan rakyat Sumatera. Menurut majalah Pemoeda Soematra yang mulai diterbitkan sejak 1918, dalam satu tahun jumlah anggota perhimpunan menjadi sekitar 500 orang dengan cabang di Jakarta dan Padang yang paling banyak anggotanya. Pada rapat tahunan JSB tanggal 26 Januari 1919, Amir terpilih sebagai wakli pengurus mendampingi Tengku Mansur yang menjabat sebagai ketua. Setahun kemudian Amir terpilih menjadi ketua menggantikan Mansur yang telah lulus dari STOVIA. Tahun 1922, posisi Amir sebagai ketua umum digantikan oleh Bahder Djohan. Di Belanda, tahun 1925 ia terpilih menjadi komisaris Perhimpunan Indonesia.
Tanggal 14 Agustus 1945, bersama Teuku Mohammad Hasan, Amir menghadiri sidang PPKI mewakili rakyat Sumatera. Pada masa pembentukan kabinet Presidensial, Amir ditunjuk menjadi menteri negara bersama dengan Wahid Hasjim, R.M Sartono, A. A. Maramis, dan Otto Iskandardinata. Pada bulan Desember 1945, Amir diangkat menjadi wakil gubernur Sumatera mendampingi Teuku Moh. Hasan yang telah terlebih dahulu diangkat menjadi gubernur.
Pemberontakan sosial yang terjadi di Sumatera Timur menjadi ancaman bagi Amir dan keluarganya. Atas peristiwa ini Amir dipindahkan dari Medan ke Sabang. Kemudian dari kota itu, Amir diterbangkan ke Utrecht, tempat ia belajar semasa muda. Karena tindakannya itu Amir dituduh sebagai pengkhianat bangsa. Di masa akhir hidupnya, atas bantuan D. J. Warouw ia tinggal di Sulawesi, berpindah-pindah dari Gorontalo, Palu, dan akhirnya Makassar.
Karya
Mohammad Amir menyukai dan tergerak oleh tulisan-tulisan yang ada di surat kabar dan majalah yang tesedia di STOVIA. Amir memperoleh bimbingan menulis dari Landjoenan gelar Datoek Temenggung, penerbit majalah bulanan Suluh Pelajar, Cahaya Hindia, dan harian Neraca. Amir sendiri menulis berbagai karangan dalam bahasa Belanda, antara lain tentang karya sastra Belanda rangkaian Mathilde ciptaan Jacques Perk dan tentang Multatuli sebagai pemikir etika dan pejuang politik. Selain bekerja sebagai psikiater, Amir juga sering terlibat dalam penulisan artikel di majalah Pujangga Baru. Disini ia menentang gagasan Sutan Takdir Alisjahbana yang mempropagandakan pembaratan pada masyarakat Indonesia. Tahun 1940 kumpulan tulisan Amir diterbitkan di Medan dengan judul Bunga Rampai.
Referensi
Amir, Moh; Boenga Rampai, Melawat ke Djawa
Aswab Mahasis dan Ismed Natsir, Kaum cendekiawan di Indonesia:suatu sketsa sosiologi
Hamka, Merantau ke Deli, Kenang-kenangan Hidup
Hatta, Mohammad, Memoir
( id.wikipedia )